Rute yang biasa dilalui yakni melalui Pontianak, ibukota Kalimantan Barat menuju Kabupaten Sintang, kabupaten terdekat dengan Serawak. Jarak Pontianak-Sintang sekitar 400 km. Estimasi waktu dengan kondisi jalan sempit dan tidak mulus adalah 10 jam.
"Beginilah keadaan kami, harus menempuh sekitar 8-10 jam dari Pontianak. Kami akan menambah landas pacu bandara kami menjadi 3.500 meter supaya bisa mendarat pesawat besar. Saat ini hanya bisa untuk pesawat kecil," kata Bupati Sintang, Milton Crosby, kepada detikcom di sela-sela Rakor Percepatan Daerah Tertinggal di Sintang Kalbar, Kamis (7/6/2012).
Setelah singgah di kabupaten yang berhadapan langsung dengan Sungai Kapuas itu, perjalanan masih perlu menempuh jarak 190 km menuju kecamatan terdekat dengan Serawak, Merakai. Perjalanan ini dapat dibilang tidak terlampau nyaman, jalan rusak berkubang dan berlumpur. Bila musim hujan, jalan menjadi musuh para pengendara.
Saat kemarau menyapa, debu sampai menutup jarak pandang. Pengendara motor yang berpapasan dengan mobil perlu berhenti dan menutup hidung rapat-rapat menghindari kepulan debu tanah.
Tak ayal, hanya kendaraan dengan mesin besar yang berani yang melintas. Kebanyakan jenis double cabin, truk ataupun motor trail.
"Kami sudah terbiasa bermalam di hutan karena terperosok lumpur. Menunggu pagi untuk memina bantuan. Paling lama, mobil ini 2 tahun usianya," kata salah seorang sopir double cabin yang mengantar detikcom ke perbatasan Serawak, Purwanto.
Dari 14 jam perjalanan itu, sebagian besar yang tersaji di kiri-kanan jalan merupakan bentang alam yang telah rusak. Hutan-hutan telah dibabat atau dibakar. Umumnya telah berubah menjadi hamparan kelapa sawit, karet, kakao, kopi atau lada. Sebagian lagi masih dibiarkan menganggur, menunggu musim tanam.
"Hutan yang rimbun, banyak burung dan sungai penuh ikan sudah masa lalu. Sekitar 20an tahun lalu, keadaan mulai berubah banyak. Banyak perusahaan membabat hutan mengganti sawit. Petani juga. Sungai menjadi kering," keluh Sultan Kesultanan Sintang, Kesuma Negara V Sri Negara Ikhsan Perdana.
"Kesultanan ini berdiri sejak 1362. Berabad-abad, hutan kami membuat kami sejahtera. Saat Belanda masuk tahun 1800an, mulai ditanam lada atau karet. Saat Jepang masuk, keluarga kesultanan dibunuh, hutan mulai tidak terurus untuk perang. Sekarang, kondisinya begini," lanjutnya lagi.
Perjalanan meninggalkan perbatasan untuk kembali ke Sintang, matahari beranjak sore. Anak-anak sebagian mandi di sisa-sisa sungai yang masih menyisakan air. Kondisinya memprihatinkan, lebih menyerupai kubangan dan berwarna keruh kecoklatan karena pohon besar yang menyimpan cadangan air bersih telah dibabat.
Tidak jauh dari sungai, terdapat rumah papan kayu dengan jemuran baju menjuntai. Sebagian sudah berwarna kusam kecoklatan meski telah dicuci dengan deterjen.
"Tentu tidak sehat, kotor. Mungkin asal tidak gatal, akan mandi disitu," tutup Purwanto yang merupakan asli warga Sintang.
source : http://news.detik.com/read/2012/06/08/014127/1935848/10/menyusuri-jalur-di-perbatasan-serawak-yang-memprihatinkan
Comments